Standar TikTok, Dari Curhat Massal Jadi Tolak Ukur Hubungan
Fenomena standar TikTok kini menjadi sorotan, terutama dalam hal membentuk ekspektasi terhadap hubungan, penampilan, dan gaya hidup.
TikTok tidak hanya memberikan hiburan, tetapi juga menciptakan tolak ukur sosial yang sering kali tidak realistis.
Banyak pengguna tanpa sadar membandingkan kehidupan mereka dengan konten viral yang telah melalui proses kurasi, filter, hingga editing.
Akibatnya, standar yang terbentuk cenderung menuntut kesempurnaan dan bisa berdampak pada kepercayaan diri serta persepsi terhadap pasangan maupun diri sendiri.
Yuk, Moms simak apa saja hal yang jadi standar TikTok.
Baca Juga: Tren Anomali TikTok, Bagaimana Cara Orang Tua Menyikapinya?
Kemunculan Standar TikTok

Moms, standar TikTok diduga datang dari kekecewaan kolektif.
Kekecewaan kolektif ini muncul bukan hanya di konteks hubungan percintaan, tapi bisa terjadi di berbagai aspek kehidupan.
Nah, TikTok jadi tempat “curhat massal” yang mengubah pengalaman pribadi menjadi tren atau standar sosial baru.
Paling banyak adalah ungkapan seperti "if he wanted, he would" adalah contoh paling jelas dari curhat massal yang berubah jadi standar sosial baru di TikTok.
Awalnya, kalimat itu mungkin datang dari pengalaman seseorang yang merasa tidak diperjuangkan dalam hubungan.
Tapi karena relatable dan banyak yang merasa “gue juga pernah kayak gitu!”, akhirnya ungkapan itu viral dan dianggap sebagai kebenaran universal.
Maksudnya, jika seseorang benar-benar sayang, dia pasti akan berusaha tanpa diminta.
Padahal dalam kenyataan, tidak semua situasi sesederhana itu.
Orang bisa saja punya kendala komunikasi, trauma, atau cara mengekspresikan cinta yang berbeda.
Tapi karena di TikTok semua dikemas dalam narasi tegas dan emosional, frasa seperti ini langsung jadi “patokan” yang sering dipakai dalam video-video hubungan percintaan.
Jadi, kekecewaan kolektif bisa membentuk opini publik, bahkan tanpa dasar ilmiah.
TikTok cuma medianya tapi emosi yang dibagikan secara masif di sanalah yang memperkuat narasi.
Nah, standar TikTok memang bisa membangun kesadaran bersama, tapi juga menciptakan standar baru yang kadang tidak realistis jika ditelan mentah-mentah.
Baca Juga: Mengenal Morning Shed, Tren Kecantikan yang Viral di TikTok
Contoh-Contoh Standar TikTok
Berikut beberapa contoh standar TikTok yang umum dan sering muncul dalam berbagai konten viral, terutama dalam topik hubungan, gaya hidup, dan citra diri.
1. Standar dalam Hubungan (Relationship TikTok)
- “If he wanted to, he would”
Pasangan yang benar-benar cinta pasti akan berjuang tanpa diminta.
- “Soft launch dulu, hard launch nanti”
Pasangan yang serius pasti akan mempublikasikan hubungan secara bertahap di media sosial.
- Pasangan harus mengerti love language, tanpa diberi tahu
Kalau kamu harus jelaskan, dia bukan orang yang tepat.
2. Standar Kesuksesan & Karier
- Sukses = punya mobil, rumah, dan penghasilan tinggi sebelum umur 25
Seolah-olah pencapaian harus instan dan cepat.
- Kerja 9–5 itu “budak korporat” — kerja fleksibel atau freelance itu ideal
Menganggap kantor = kehidupan toxic, entrepreneur = hidup bebas.
- Productivity = bangun jam 5 pagi, journaling, workout, dan ngopi aesthetic
Rutinitas ideal TikTok versi morning routine influencers.
3. Standar Penampilan & Gaya Hidup
- Skin harus glowing dan poreless, rambut selalu rapi, badan ideal
Semua orang harus tampil seperti beauty influencer.
4. Standar Kesehatan Mental & Emosional
- Healing ke Bali, staycation, atau journaling dengan lilin aromaterapi
Padahal healing setiap orang beda-beda.
- Kalau kamu masih nangis karena mantan, kamu belum move on
Menyederhanakan proses penyembuhan emosional.
- Boundaries = memutus hubungan dengan siapa pun yang tidak setuju dengan kamu
Kadang disalahartikan sebagai bentuk ego, bukan self-respect.
Baca Juga: 7 Cara Mendapatkan Uang dari TikTok, Pemula Merapat!
Dampak Standar TikTok
Dampak dari standar TikTok bisa terasa cukup besar, apalagi jika diserap tanpa filter.
Berikut ini beberapa dampak utama yang sering terjadi, baik secara psikologis maupun sosial.
1. Tekanan Mental dan Emosional

Melihat standar yang "sempurna" di TikTok bisa membuat seseorang merasa gagal atau tidak cukup baik. Misalnya:
- Merasa tertinggal karena belum sukses di usia muda.
- Merasa hubungan sendiri tidak cukup romantis atau “viral-worthy”.
- Membandingkan diri secara terus-menerus dengan content creator.
Nah, dampaknya bisa menurunnya rasa percaya diri.
2. Ekspektasi Tidak Realistis dalam Hubungan
Frasa seperti "If he wanted, he would" atau "real man pays for everything" menciptakan gambaran pasangan ideal yang tidak selalu sesuai kenyataan.
Akibatnya, banyak orang jadi cepat menilai pasangan “gak cukup baik”, padahal bisa jadi hanya beda cara ekspresi cinta.
3. Standar Kecantikan dan Penampilan yang Sempit
Trend glowing skin, tubuh langsing, dan aesthetic look bisa bikin banyak orang merasa tidak memenuhi standar, padahal semua itu sering dibantu filter, lighting, dan editan.
Akibatnya, bisa menyebabkan krisis body image, gangguan makan, hingga obsesi berlebihan pada skincare atau diet ekstrem.
4. Perilaku Konsumtif dan Fear of Missing Out (FOMO)
TikTok sering membentuk standar gaya hidup staycation, kopi mahal, skincare 10 step, outfit branded, dan sejenisnya.
Dampak dari FOMO, orang merasa harus mengikuti tren agar “valid” secara sosial, bahkan sampai mengorbankan keuangan.
5. Pemahaman Keliru soal Healing dan Kesehatan Mental
Healing disederhanakan jadi liburan, journaling, atau skincare, padahal tiap orang butuh proses dan pendekatan yang berbeda.
Jika konten diterima tanpa filter, maka bisa membuat orang merasa gagal kalau belum “healed” dalam waktu singkat, atau malah merasa bersalah saat masih merasa sedih.
6. Hubungan Sosial yang Terkontaminasi Standar Viral
Orang mulai menilai teman, pasangan, bahkan keluarga berdasarkan standar TikTok (misalnya: harus ada love language, harus tahu red/green flag, dsb).
Dampaknya, komunikasi jadi kurang tulus karena terlalu banyak ekspektasi luar yang ditanamkan lewat media sosial.
Itulah informasi tentang fenomena standar TikTok dan sebaiknya bijak dalam konsumsi media sosial, ya!
Konten di bawah ini disajikan oleh advertiser.
Tim Redaksi Orami tidak terlibat dalam materi konten ini.
Orami Articles — Artikel Seputar Parenting, Kesehatan,
Gaya Hidup dan Hiburan
Copyright © 2025 Orami. All rights reserved.